Aikido : Shu Ha Ri  守破離

Aikido : Shu Ha Ri  守破離

“The ultimate aim of martial arts is not having to use them”
“The ultimate aim of martial arts is not having to use them”

Share:

Share:

“The ultimate aim of martial arts is not having to use them”

Kira-kira itulah cuplikan kalimat yang dilontarkan sensei pada kami seusai latihan. Sebuah pesan dari Miyamoto Musashi, seorang ronin legendaris dari Jepang. Pesan yang memiliki makna moral mendalam ketika kami menenggelamkan diri pada sebuah seni bela diri.

Sensei:                                       
Ada empat tujuan yang dapat dicapai dalam sebuah pertarungan…

Murid yang mencari kejantanan:
*tertegun seperti saat melihat mantan*

Sensei:
Pertama, saat bertarung, kalian mati sementara “lawan” kalian hidup. Ya atau minimal kalian terluka, sementara “lawan” kalian tidak. Kalian kalah! Tentunya kita tidak menginginkan seperti ini.

Saya yang mencari kejantanan:
(bicara dalam hati) amit-amit, jangan sampe deh, belum kawin, belum merasakan dibutakan oleh cinta nih gue. Gue baru nyobanya dibutakan oleh hantu, itu juga waktu jaman SD. Yap! Si Buta dari Gua Hantu. Oke ini garing.

Sensei:
Kedua, kalian dan lawan sama-sama terluka, atau sama-sama mati, atau bahkan sama-sama hidup dengan kondisi tidak berbeda. Pertarungan kalian seimbang.

Saya yang mencari kejantanan:
(bicara dalam hati) Nah, ini aman!

Sensei:
Ketiga, dalam pertarungan, kalian hidup sementara lawan mati. Kalian yang menang!

Saya yang mencari kejantanan:
(bicara dalam hati) kasian anak bininya ah, jangan sampe deh! Kasian mereka kalau harus kehilangan orang yang sangat berarti. Soalnya saya pernah merasakan *curhat sama diri sendiri* Skip!

Sensei:
Terakhir, keempat. Kalian tidak bertarung sama sekali.

Saya yang mencari kejantanan:
(bicara dalam hati) hah? terus buat apa gue belajar gelut (berantem)???

Sensei:
Tujuan terakhir inilah tujuan utama dari sebuah seni bela diri: Tidak menggunakannya! Itu karena tujuan utama dalam sebuah pertarungan adalah tidak bertarung. Dan ini yang sulit. “The ultimate aim of martial arts is not having to use them”

“So, kalau kalian berharap di Aikido akan banyak belajar pukulan, tendangan, menghajar lawan, maka kalian salah besar. Bukan disini tempatnya”. Kalimat tersebut meruntuhkan segudang ekspektasi mengenai tubuh saya yang kelak akan berotot setelah banyak latihan. Bahkan saking berototnya tubuh saya nanti, otot saya akan punya otot lagi, dan ototnya otot tersebut akan punya otot. Terus begitu sampai tujuh tingkat otot yang berotot. Tapiii….gagal sudah ekspektasi menjadi pria jantan yang berkokok setiap pagi hari. Yang ada saya mungkin akan jadi pria jantan yang digeprek atau dipenyet.

Sensei menjelaskan, bahwa yang dipentingkan dari Aikido bukan pertarungan. Tapi harmonisasi diri. Sinergitas body, mind and soul  yang akan mengantarkan pada pengendalian. Pengendalian diri, bahkan pengendalian “lawan”. Lawan dalam Aikido bukan dianggap sebagai musuh, sebaliknya ia adalah partner yang harus dihormati dan diarahkan.

Bukannya sikap tubuh yang keras, gerakan Aikido justru terkesan lembut namun tegas. Bukan hentakan yang mematikan, tapi gerak yang mengalirkan. Seperti itu kelihatannya. Karena sudah nanggung latihan dan bayar (yang mahal), akhirnya saya pun tetap memutuskan untuk lanjut latihan. Ya bisa dibilang, Aikido mungkin akan “mempercantik” jiwa kami. Tidak apa-apalah, siapa tahu setelah ikut Aikido kami jadi orang yang memiliki  kecantikan jati diri luar-dalam.  Bukankah yang dicari untuk menjadi miss universe adalah mereka yang cantik luar dalam? Nah! Dengan begitu kesempatan saya untuk mengikuti ajang miss universe semakin terbuka! Bahkan kemenangan bukan hal mustahil kalau saya dengan tekun mempercantik luar-dalam melalui p*nds beauty dan Aikido. Apalagi kalau saya tambah dengan membeli peninggi, pelangsing, pemutih dan pengencang yang suka dijual di Instagram.

Untuk mempercantik diri luar-dalam setidaknya ada satu konsep filosofis yang diajarkan pada kami. Filosofi yang menjadi pedoman bagi para jomblowan dan jomblowati untuk menarik minat gebetan? Atau cara agar move on dari gebetan yang akhirnya memilih jadian sama orang lain? Jawabannya tentu bukan! Itu mah silahkan konsultasikan saja sama Mamah Dedeh . Yang diajarkan kepada kami ini adalah “Shu Ha Ri”, sebuah konsep seni bela diri Jepang, khususnya yang dimaknai oleh para Aikidoka (penggiat Aikido) untuk mencapai tingkatan tertinggi. Waktu sensei mulai menjelaskan konsep ini, saya mendengarnya bukan Shu Ha Ri, tapi Suheri. Ini beneran. Saya mikir, siapa pula itu Suheri. Jiga (seperti) nama orang Sunda. Nama panjangnya pasti Heri Suheri. Oh ternyata saya salah, bukan Suheri nama orang Sunda, tapi Shu Ha Ri. Bahasa Jepang coy, terdiri dari tiga kata. Tiga kata ini ternyata melambangkan tahapan belajar yang akan dilalui oleh para “seniman” bela diri.

Sensei membuat sebuah metafora Shu Ha Ri ini melalui kisah lahirnya seekor anak burung. Anak burung yang baru menetas akan melihat induknya terbang. Ia akan mulai belajar mengenai bagian tubuh yang biasa digunakannya untuk terbang. Sayap. Anak burung itupun melanjutkannya dengan mempelajari teknik mengepakan sayap, tata cara terbang, aturan main saat sedang lepas landas dan aturan-aturan dasar lainnya. Inilah yang disebut dengan “Shu”. Melalui “Shu”, seorang manusia akan belajar tentang bentuk. Berpikir keras untuk menciptakan bentuk yang sempurna. Semua prosedur operasional dijalankan sesuai tata laksananya. Sifatnya serba kaku. Kekakuan inilah awal dari sebuah pemahaman.

Setelah melewati tahap “Shu”, seekor burung mulai mampu terbang, mengepakan sayap. Secara inovatif membangun cara terbangnya sendiri. Trial and error, jatuh untuk kemudian bangkit. Lalu jatuh lagi setelah ia terbang. Tahap yang butuh kesabaran lebih. Sebuah tahapan “Ha”. Dari “Ha” seorang manusia mulai membangun konsep diri untuk kemudian mengembangkan bentuk skema diri, nilai harga diri dan kekuatan efikasi diri. Berbagai cara ia coba demi sebuah kreasi. Kreasi yang mengantarkan manusia untuk memaknai rasa. Rasa yang menjadi jembatan menuju determining being-nya sebagai manusia.

Sampai pada akhirnya burung itu tumbuh semakin dewasa. Menemukan caranya sendiri untuk terbang. Tentunya setelah jatuh dan bangun yang ia alami. Tentunya setelah seribu pemangsa ganas ia hadapi. Sang burung terbang semakin tinggi, terbang karena ketenangan hati. Ia tidak perlu lagi berpikir keras tentang bagaimana caranya terbang. Terbang sudah menjadi dirinya, dan ia memiliki caranya. Bahkan sudah saatnya sang burung mengajarkan makna terbang bagi burung-burung kecil lainnya. Inilah “Ri”. Sebuah kebijaksanaan hati yang ditemukan melalui panjangnya sebuah alur perjalanan. “Ri” adalah ketika manusia mampu menemukan jalan hidupnya, juga cara hidupnya. Manusia tidak perlu lagi dengan keras menggunakan otaknya untuk sekedar menghafalkan alur hidup. Tetapi lebih dari itu, mereka yang ada pada fase “Ri”, hidup dalam penghayatan dan pemaknaan dari apa yang dilakukan. Melakukan yang membuat mereka bermakna. Memaknai apa yang mereka lakukan. Mereka mengizikan hati untuk mengantarkan intuisi pada logika, lalu mengendapkan logika pada sebuah intuisi. Tubuh mereka bergerak sendiri dengan tetap disadari, karena kesadaran mereka adalah kesadaran tertinggi. “Ri” mengkreasikan caranya sendiri, memaknai, untuk kemudian menginspirasi.

Meniru. Belajar tentang apa yang disebut dengan hidup. Kemudian mencari hidup untuk menemukan cara memaknai. Berakhir pada sebuah kebijaksanaan dan kebermaknaan. Mengantarkan inspirasi bagi para pencari lainnya. Dan inilah filosofi yang kami hayati. Shu Ha Ri 守破離              

Ngomongin burung aja panjang ya. Hahaha. Ya kurang lebih itu filosofi yang saya pelajari untuk kemudian dimaknai. Aikido ternyata memang tidak menjadikan saya macho dengan tujuh tingkatan otot. Tapi saya disadarakan untuk belajar membangun kekuatan yang lebih mapan. Kekuatan hati.  

Share:

More to Read

More to Read

clark-van-der-beken-596baa0MpyM-unsplash
“2050 adalah tahun kehancuran umat manusia”.
karine-avetisyan-ipuiM-36tAg-unsplash
Ketika DNA dan Jejak Sejarah Membuka Rahasia Hidup
engin-akyurt-2-eCuma3qO0-unsplash
Haruskah kita pindah dari Bumi karena katanya planet
“2050 adalah tahun kehancuran umat manusia”.
Ketika DNA dan Jejak Sejarah Membuka Rahasia Hidup Manusia.
Haruskah kita pindah dari Bumi karena katanya planet ini sudah terlalu berisik untuk didiami?
Scroll to Top