Brain Needs Silence

Brain Needs Silence

Haruskah kita pindah dari Bumi karena katanya planet ini sudah terlalu berisik untuk didiami?
Haruskah kita pindah dari Bumi karena katanya planet ini sudah terlalu berisik untuk didiami?

Share:

Share:

Abad ke-18 merupakan salah satu masa yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pergerakan sejarah manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa revolusi industri yang diawali sejak tahun 1750 di Inggris mendorong munculnya pergeseran di berbagai dimensi kehidupan sosial. Tak ayal sejak saat itu aktivitas manusia dipaksa untuk menjadi lebih cepat dan efisien. Belum lagi perkembangan teknologi dan informasi yang semakin masif di setiap dekadenya membuat abad 21 menjadi titik eksponensial bagi perkembangan industri yang dikenal sebagai revolusi keempat.

Tidak dapat disangsikan bahwa perubahan-perubahan tersebut membawa benefit tersendiri bagi manusia. Perpindahan antar tempat kini terakselerasi lebih cepat dengan kecanggihan teknologi berkendara. Belum lagi jarak dengan mudahnya dipangkas lewat komunikasi virtual melalui ponsel super cerdas. Selain itu, teknologi pengobatan mampu menekan angka mortalitas dan memberikan alternatif kehidupan yang lebih sehat. Kebermanfaatan dari laju pesat industri lambat laun membawa manusia seolah-olah berada di batas superioritas.

Meski demikian, dari sudut pandang lain ada konsekuensi yang harus dibayar dari revolusi industri. Salah satunya adalah meningkatnya kebisingan antropogenik (anthropogenic noise) yang dalam hal ini merupakan polusi suara akibat padatnya aktivitas manusia. Sebagai contoh, suara keras dari pengeboran minyak, mesin-mesin pabrik, suara kereta, klakson di kemacetan, atau pesawat yang lepas landas. Hal tersebut berpengaruh terhadap tatanan natural alam liar. Berbagai riset menunjukkan bahwa suara keras dapat mengganggu hewan yang bertahan hidup melalui navigasi suara, beberapa jenis burung menjadi sulit berkembang biak, serta kehidupan laut pun mengalami kekacauan.

Masalah kebisingan tidak hanya berdampak pada hewan dan lingkungan, namun juga berimplikasi terhadap kehidupan manusia. Banyak studi yang menemukan fakta bahwa paparan kebisingan yang signifikan dan kontinyu dapat mereduksi kualitas tidur dan meningkatkan potensi masalah-masalah kesehatan fisik seperti penyakit kardiovaskular, hendaya auditori, tekanan darah tinggi dan meningkatnya level hormon kortisol yang berhubungan dengan stres. Tidak hanya itu, berbagai penelitian juga mengemukakan bahwa resiko masalah kesehatan mental meningkat secara linear salah satunya karena ada peran kebisingan yang masif dan berkelanjutan. Sebagai contoh, meta-analsis yang dilakukan oleh Hegawald dan timnya di tahun 2020 menyimpulkan bahwa suara keras dari pesawat dapat meningkatkan resiko depresi. Sementara itu, penelitian lain menunjukkan bahwa banyaknya kebisingan akan mengganggu perkembangan anak dan meningkatnya probabilitas kemunculan gangguan kecemasan.

Di era digital ini kebisingan dimaknai tidak hanya sebatas pada polusi suara, melainkan kepadatan arus berpikir akibat besarnya kuantitas konsumsi informasi yang terinternalisasi pada otak manusia. Ditambah lagi dengan adanya media sosial, proses mendapatkan informasi menjadi lebih cepat. Survey dari Katadata menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia mengkonsumsi media sosial selama 3,3 jam sehari. Dalam waktu tersebut tentunya banyak data dan informasi yang diperoleh. Sayangnya, perkembangan teknologi media sosial juga melahirkan isu-isu kesehatan mental yang baru ketika penggunanya tidak belajar untuk meregulasi diri. Insecure, membandingkan diri, adiksi gawai atau Fear of Missing Out (FoMO) adalah masalah-masalah yang kerap muncul akibat kerasnya hentakan informasi yang membuat pikiran sebagian orang menjadi semakin bising dan cenderung overthinking.

Sementara itu, kehidupan kerja modern di industri 4.0 memberi banyak ambisi dan kompetisi sekaligus tuntutan dan juga beban. Menariknya, sebagian individu yang memilih untuk hidup dalam bisingnya jalanan dan begitu padatnya pekerjaan mengglorifikasi kondisi tersebut yang secara populis dikenal sebagai hustle culture. Hustle culture atau dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai budaya hiruk pikuk menggambarkan sebuah pola aktivitas yang mengedepankan obsesi untuk terus menerus bekerja (overworks). Segala sesuatunya harus selalu cepat dan terburu-buru sehingga waktu istirahat, libur bahkan tidur dianggap membuang-buang waktu. Prof. Brian Robinson, seorang psikoterapis menulis dalam artikelnya bahwa hidup dengan budaya hiruk pikuk seringkali membuat seorang individu secara tidak sadar melepaskan determinasi dirinya. Ia hidup diperbudak oleh tuntutan internal ataupun eksternal seperti deadline pekerjaan, penilaian sosial atau keharusan untuk selalu menyenangkan semua orang. Pada akhirnya, mereka hidup dalam kedok komitmen dan dedikasi.

Maka tidak heran jika International Labour Organization (ILO) mengatakan bahwa angka stress kerja di berbagai belahan dunia mengalami peningkatan. Sebagai implikasinya, performa kerja mengalami penurunan, burnout meningkat serta kondisi kesehatan mental terdegradasi. Hal tersebut terjadi karena beban kerja (work load) dan tuntutan hidup yang sebenarnya merupakan konstruksi sosial berpotensi menyeret pikiran masuk ke dalam kondisi mental yang disebut repetitive thought atau yang secara umum lebih dikenal overthinking. Repetitive thought merupakan sebuah keadaan pikiran yang terjebak secara eksesif pada suatu hal sehingga menimbulkan ketidaknyamanan psikologis. Artinya, individu dengan kondisi demikian akan selalu memikirkan hal yang sama berulang-ulang tanpa mencoba mencari jalan keluar. Selain itu, biasanya apa yang dipikirkan adalah hal-hal yang sudah berlalu atau justru belum tentu terjadi. Dengan kata lain, pikirannya penuh dan bising oleh berbagai kekhawatiran, ketakutan atau penyesalan akan sesuatu.

Sehat Mental melalui Penghayatan Sunyi

Berbagai hiruk pikuk dan kebisingan, baik yang berasal dan eksternal maupun internal pada faktanya dapat membawa ketidaknyaman kondisi psikologis. Oleh karena itu, saat ini jeda dan keheningan telah menjadi komoditas mewah yang bagi sebagian orang memerlukan usaha untuk mendapatkannya. Beberapa individu memilih untuk mencari tempat yang relatif lebih sunyi dengan berwisata kembali ke alam. Sebagian yang lain aktif mengikuti kegiatan retreat hening ataupun bergabung dengan komunitas meditasi, yoga atau mindfulness untuk menjaga pikiran dari segala keributan. Menariknya, bahkan Finlandia menjadikan silence atau sunyi sebagai branding dari wisata negaranya. Dengan jargon “Keep Silnce” dan “Enjoy the Silence and Unspoilt Nature” Negara Nordik tersebut justru mengajak para visitor untuk melepas kebisingan dengan kembali ke alam dan menikmati suasana sunyi yang natural.

 Sunyi sebagai antitesis dari kebisingan dunia modern sebenarnya sudah dikaji jauh-jauh hari oleh para filsuf Yunani Kuno. Biasanya, nilai-nilai kesunyian diasosiakan dengan sesuatu yang sifatnya transendental dan teologis. Selain itu, hal tersebut juga seringkali dikaitkan dan dibahas dalam diskursus seni ataupun sastra. Berdasarkan kacamata historis maupun filosofis, muncul sebuah hipotesis bahwa kondisi hening atau sunyi merupakan atribut yang memiliki dampak signifikan bagi kehidupan mental individu. Kondisi demikian pada akhirnya dibuktikan oleh studi empiris dari berbagai peneliti dan para akademisi modern.

Dua peneliti dari Jerman, Eric Pfeifer dan Marc Wittmann memberikan kajian dalam artikel ilmiahnya mengeni peran keheningan terhadap berbagai aspek psikologis. Mereka mengulas lima studi eksperimen di berbagai seting dengan beragam perlakuan. Studi pertama memposisikan responden di sebuah ruangan yang sunyi namun dalam konteks menunggu dan tidak diberi instruksi lanjutan apa yang perlu mereka lakukan di sana. Dengan kata lain mereka hanya menuggu di ruang yang sangat sunyi. Sementara eksperimen kedua meminta para responden untuk diam di sebuah ruangan sepi dan fokus memerhatikan isi pikirannya. Penelitian ketiga responden pun sama diminta diam di sebuah ruang sunyi tapi fokus memperhatikan hal-hal yang ada di sekitarnya untuk kemudian merkea mendapat sesi intervensi Depth Relaxation oleh psikoterapis setelahnya. Pada studi keempat, responden mendapat perlakukan yang persis dengan penelitian ketiga hanya saja dilakukan di ruang terbuka yang juga sunyi. Adapun studi terakhir peserta hanya diberikan kondisi yang benar-benar hening tanpa perlakuan apapun lagi. Mereka hanya diminta menghayati keadaan sunyi tersebut.

Berdasarkan kelima ulasan tersebut, Pfeifer dan Wittmann menyimpulkan bahwa eskperimen kedua sampai kelima berhasil memberikan dampak signifikan dalam meningkatkan afek positif pada individu. Hal ini berarti dalam seting apapun selama seorang individu mampu menikmati keheningan maka kondisi tersebut dapat membuat diri menjadi lebih rileks, menjadikan mood lebih stabil dan mampu menikmati setiap waktu yang dijalani dengan lebih baik. Pada eksperimen kesatu hal demikian tidak berlaku karena peserta hanya menunggu di ruang yang sunyi tanpa diminta terhubung atau menikmati kondisi hening. Hal ini membuat responden berfokus pada seberapa lama mereka harus berdiam.

Menariknya, dari studi-studi tersebut, eksperimen yang dilakukan di luar ruangan memberikan dampak yang paling signifikan dibandingkan lainnya. Artinya, menghayati kondisi sunyi di alam terbuka memiliki benefit yang lebih besar bagi kesehatan mental. Ini tidak terlepas dari postulat yang menjelaskan bahwa alam memberikan efek terapeutik bagi manusia. Dengan kata lain, menikmati suasana natural dapat menjadi bentuk terapi tersendiri. Hal tersebut dapat terkondisikan karena penghayatan terhadap keheningan di alam membuat manusia mampu membangun koneksi dengan realitas natural. Kajian yang dilakukan oleh Pritchard dan tim mengungkap bahwa keterhubungan dengan alam membuat individu dapat bertumbuh dan memiliki energi untuk beraktualisasi. Inilah yang menjadi landasan mengapa menikmati kesunyian di alam terbuka dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis.

Terlepas dari setingnya, keheningan mampu meningkatkan neurogenesis pada otak manusia. Neurogenesis merupakan proses produksi sel-sel dalam sistem saraf untuk kemudian diintergasikan dengan Sistem Saraf Pusat. Artinya, dengan adanya neurogenesis, otak mampu membangun jaringan-jaringan saraf baru yang salah satunya memiliki dampak positif bagi kesehatan manusia. Hal ini dibuktikan oleh eksperimen dari Imke Kriste dan timnya. Dalam studinya, Kriste memberikan tikus empat jenis paparan bunyi yaitu suara bayi tikus, suara bising yang tidak jelas dengan berbagai frekuensi, musik dan kondisi sunyi tanpa suara sama sekali. Mengejutkannya, ia menemukan fakta bahwa hanya kondisi sunyi lah yang memberi efek berkelanjutan terhadap neurogenesis bagian otak yang disebut hipokampus.

Hipokampus memiliki fungsi utama yang berkenaan dengan proses belajar dan memori. Maka masalah pada bagian ini akan berdampak pada persoalan terkait ingatan seperti demensia. Tidak hanya itu, kerusakan di hipokampus pun dapat memunculkan berbagai gangguan psikologis. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan kondisi depresi, stress kronis atau skizofrenia (orang dengan gangguan jiwa) memiliki ukuran hipokampus yang mengecil diakibatikan kerusakan sel (inflamasi) dan terganggunya proses neurogenesis. Maka dapat dikatakan bahwa peningkatan kemampuan produksi sel di bagian hipokampus akan meningkatkan kesehatan mental individu. Hal tersebut dapat dicapai salah satunya dengan penghayatan terhadap keadaan hening atau sunyi.

 Neurogenesis yang dibangun lewat kondisi hening juga memiliki fungsi untuk meningkatkan fleksibilitas dalam beradaptasi dengan lingkungan. Hal ini memberi keuntungan tersendiri bagi individu karena ia akan lebih mampu menghadapi berbagai kejadian yang berada di luar dugaan dan serba tidak pasti. Lebih dari itu keheningan juga menjadi kesempatan bagi otak untuk mengenkripsi, membenahi dan merestrukturisasi berbagai informasi yang diperolehnya. Maka sebenarnya otak pun membutuh waktu untuk berjeda dari berbagai kebisingan agar dapat mengoptimalisasi kemampuannya dalam menggunakan data dan pengalaman yang dimiliki.

Mengheningkan Pikiran melalui Jeda

Jeda atau istirahat yang dilakukan oleh otak sebenarnya tidak dapat didefinisikan secara harfiah bahwa ia benar-benar diam tanpa aktivitas. Bahkan saat manusia tidur pun otak tetap melakukan proses-proses tertentu. Pada tahun 2001 Raichle dan sejawatnya membangun sebuah model jejaring otak yang disebut Default Mode Network (DMN) yaitu fase aktifnya sekumpulan bagian otak saat individu beristirahat. Istirahat dalam hal ini didefinisikan sebagai kegiatan individu yang tidak ada kaitannya dengan pemecahan masalah dan tidak ada hubungannya dengan penyelesaian tugas. DMN teraktivasi ketika individu melakukan kegiatan seperti melamun, refleksi diri, melihat pengalaman, membayangkan masa depan ataupun coba menebak-nebak pikiran dan perspektif orang lain mengenai satu hal.

Saat memasuki kondisi yang sunyi dan hening, fase DMN sangat mungkin aktif karena otak diberi kesempatan untuk beristirahat. Maka proses prokreasi, imajinasi bahkan introspeksi diri dapat terjadi dengan sendirinya. Meski demikian, di sisi lain, aktifnya DMN dapat membuat individu terjebak pada pikiran-pikiran mengenai masa depan yang belum tentu nyata, bayangan masa lalu atau bahkan asumsi mengenai apa yang dipikirkan orang lain. Jika tidak diregulasi dengan cara memadai, maka kondisi DMN yang seharusnya membantu individu beristirahat justru menjadikannya semakin bising dengan banyaknya pikiran yang berseliweran. Sebagai akibatnya, disfungsi, ketidakseimbangan dan gangguan yang eksesif pada DMN berpotensi memicu munculnya masalah-masalah psikologis seperti kecemasan, depresi dan skizofrenia.

David Vago dan Fadel Zeidan dalam kajian ilmiahnya menjelaskan bahwa mengistirahatkan pikiran dapat berdampak adaptif (membangun) ataupun maladaptif (merusak) bagi kesehatan mental tergantung pada konten dan konteksnya. Menurutnya, istirahat pikiran yang adaptif seringkali diasosiasikan dengan mindfulness, yaitu kemampuan individu untuk menyadari dan fokus pada kondisi saat ini (here and now) tanpa menghakimi dan tanpa melibatkan emosi-emosi reaktif. Sebaliknya, mengistirahatkan pikiran dapat berdampak destruktif ketika individu membiarkan isi kepalanya berkeliaran mejelajah berbagai kemungkinan mengenai masa depan atau masa lalu tanpa dikelola secara proporsional. Hal tersebut Vago dan Zeidan kaitkan dengan mind wandering akibat terlalu aktifnya Default Mode Network (DMN) pada otak. Oleh karena itu, untuk merduksi DMN, maka individu perlu belajar melatih ketahanan mental, salah satunya dengan mengembangkan kemampuan hidup mindful.

Hidup dengan cara yang mindful dapat mengasah individu dalam meningkatkan kemampuan meta-awareness-nya, yaitu skill untuk senantiasa mengamati dan sadar mengenai pikiran-pikiran yang diri sendiri miliki. Sederhananya meta-awareness dapat diibaratkan sebagai sutradara dalam sebuah film. Sebagai gambaran, bayangkan bahwa pikiran manusia itu seperti layaknya film yang dipenuhi oleh berbagai drama, cerita atau fantasi yang sebenarnya dibuat oleh diri sendiri sebagai hasil evaluasi terhadap dunia eksternal. Contoh, misalnya kita bertemu dengan teman yang biasanya akrab namun kali ini ia tidak meyapa sama sekali. Maka pikiran akan menilai kejadian itu, kemudian membuat berbagai kemungkinan seperti teman tersebut sedang marah, kita membuat kesalahan sehingga dibenci, atau kemungkinan-kemungkinan lainnya. Pikiran-pikiran yang muncul itu dapat ditengarai oleh DMN yang tidak terkelola sehingga memunculkan keadaan emosi yang tidak stabil.

Di sisi lain, ketika seorang individu memiliki kemampuan meta-awareness yang dibangun lewat latihan mindfulness, maka ia dapat mengambil peran sebagai sutradara terhadap kejadian tersebut. Artinya, saat ada pikiran-pikiran wandering muncul, yang perlu dilakukan bukanlah mengikutinya dan terlibat secara emosional sehingga membuat diri tidak nyaman. Sebaliknya, dengan menjadi sutradara kita justru berfokus menyadari, mengamati dan mengobservasi cara berpikir diri sendiri sehingga akan paham dengan sendirinya apakah pikiran itu adalah suatu yang relevan atau dibuat-buat. Dengan meta-awareness­, individu akan lebih mampu mengelola dinamika berpikir dan emosinya karena ia memperkuat bagian otak yang disebut dorsolateral prefrontal cortex (dlPFC) serta frontoparietal control network (FPCN). Jaringan dan bagian otak tersebut memiliki peranan penting dalam fungsi koginisi level tinggi seperti regulasi perilaku, pengambilan keputusan, penyelesaian masalah, seta pengelolaan informasi. Dengan demikian, meski otak dalam keadaan istirahat sekalipun, pikiran tetap berada dalam koridor yang tepat sehingga secara internal pun individu dapat terlepas dari kebisingan dan merasakan keheningan.

Mengistirahatkan pikiran dari kebisingan memang suatu hal yang diperlukan guna meningkatkan kesejahteraan psikologis. Akan tetapi, perlu diperhatikan pula kemungkinan terjebak pada kondisi sunyi yang artifisial, yaitu ketika mind wandering menjadi terlalu berlebihan namun dianggap sebagai suatu bentuk istirahat mental. Meski demkian, dalam konteks dan porsi yang proporsional mind wandering penting untuk membangun kreatifitas, imajinasi dan refleksi diri. Di sisi lain, budaya hiruk pikuk (hustle cultre) yang diglorifikasi juga dapat membuat keadaan psikologis yang tidak seimbang dikarenakan overworks dan segala bunyi ribut di daerah urban akan berdampak pada meningkatnya resiko masalah kesehatan mental.

Kebisingan memang dapat muncul dari lingkungan eksternal ataupun dibuat oleh pikiran. Hal tersebut tentunya mampu memaksa kehidupan mental manusia masuk ke dalam kondisi yang semerawut. Belum lagi berbagai tuntutan industri modern dan konstruksi sosial seolah-olah menjadi atribut yang memoderasi tumbuhnya berbagai hiruk pikuk dan kebisingan baru. Dalam keadaan demikian, manusia dapat terjebak pada rasa lelah secara psikologis, emosi yang tidak stabil, atau ketidakmampuan berpikir rasional. Maka tidak ada salahnya sejenak untuk kembali menghayati sunyi dengan cara kembali mengalam atau menyempatkan diri duduk hening sejenak. Pada intinya belajar hidup secara seimbang adalah yang perlu dilakukan, yaitu mengetahui porsi waktu untuk bekerja dan beristirahat secara selaras. Sebelum diakhiri, mari kita kembali ke pertanyaan awal, “Haruskah kita pindah dari Bumi karena katanya planet ini sudah terlalu berisik untuk didiami?” Mungkin jawabannya adalah, “Terserah”, namun yang jelas, manusia selalu memiliki tempat sunyi jika ia berkenan untuk kembali pulang ke dalam diri.

Baker, T. (2018, June 18). Silence is Golden when It Comes to How Our Brains Work. ScienceDaily. https://www.sciencedaily.com/releases/2018/06/180618102551.htm

Caranfa, A. (2003). Philosophical Silence and Spiritual Awe. Journal of Aesthetic Education, 37(2), 99. https://doi.org/10.2307/3527458

Curious. (2019, September 19). Noise Pollution and the environment. https://www.science.org.au/curious/earth-environment/noise-pollution-and-environment

Garrison, K. A., Zeffiro, T. A., Scheinost, D., Constable, R. T., & Brewer, J. A. (2015). Meditation leads to reduced default mode network activity beyond an active task. Cognitive, Affective, & Behavioral Neuroscience, 15(3), 712–720. https://doi.org/10.3758/s13415-015-0358-3

Grob, K. (2014, December). Moral Philosophy and the Art of Silence (Dissertation). https://ecommons.luc.edu/luc_diss/1263

Gross, D. (2014, August 21). This Is Your Brain on Silence. Nautilus. https://nautil.us/issue/16/nothingness/this-is-your-brain-on-silence

Hegewald, J., Schubert, M., Freiberg, A., Romero Starke, K., Augustin, F., Riedel-Heller, S. G., Zeeb, H., & Seidler, A. (2020). Traffic Noise and Mental Health: A Systematic Review and Meta-Analysis. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(17), 6175. https://doi.org/10.3390/ijerph17176175

Hiral J., J., Huma S., S., Minarva J., P., & Yogesh M., G. (2017, March). Noise Pollution & Human Health: A Review. Noise and Air Pollution: Challenges and Opportunities.

History.com Editors. (2019, September 9). Industrial Revolution. HISTORY. https://www.history.com/topics/industrial-revolution/industrial-revolution

Kirste, I., Nicola, Z., Kronenberg, G., Walker, T. L., Liu, R. C., & Kempermann, G. (2013). Is silence golden? Effects of auditory stimuli and their absence on adult hippocampal neurogenesis. Brain Structure and Function, 220(2), 1221–1228. https://doi.org/10.1007/s00429-013-0679-3

Klompmaker, J. O., Hoek, G., Bloemsma, L. D., Wijga, A. H., van den Brink, C., Brunekreef, B., Lebret, E., Gehring, U., & Janssen, N. A. (2019). Associations of combined exposures to surrounding green, air pollution and traffic noise on mental health. Environment International, 129, 525–537. https://doi.org/10.1016/j.envint.2019.05.040

Lidwina, A. (2020, September 25). Penduduk Indonesia Gunakan Media Sosial 3,3 Jam per Hari. katadata. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/09/25/penduduk-indonesia-gunakan-media-sosial-33-jam-per-hari

Lim, J., Kweon, K., Kim, H. W., Cho, S. W., Park, J., & Sim, C. S. (2018). Negative impact of noise and noise sensitivity on mental health in childhood. Noise & health, 20(96), 199–211. https://doi.org/10.4103/nah.NAH_9_18

Menuju Lingkungan Kerja yang Bebas Stres. (2016, April 27). International Labour Organization. https://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_495521/lang–en/index.htm

National Geographic Society. (2019, July 15). Noise Pollution. https://www.nationalgeographic.org/encyclopedia/noise-pollution/

Pfeifer, E., & Wittmann, M. (2020). Waiting, Thinking, and Feeling: Variations in the Perception of Time During Silence. Frontiers in Psychology, 11. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.00602

Pivato S. Lectio Magistralis “Il secolo del rumore” [The century of noise]. G Ital Med Lav Ergon. 2011 Jul-Sep;33(3):223-5. Italian. PMID: 22073664.

Pritchard, A., Richardson, M., Sheffield, D., & McEwan, K. (2019). The Relationship Between Nature Connectedness and Eudaimonic Well-Being: A Meta-analysis. Journal of Happiness Studies, 21(3), 1145–1167. https://doi.org/10.1007/s10902-019-00118-6

Raichle, M. E. (2015). The Brain’s Default Mode Network. Annual Review of Neuroscience, 38(1), 433–447. https://doi.org/10.1146/annurev-neuro-071013-014030

Raichle, M. E., MacLeod, A. M., Snyder, A. Z., Powers, W. J., Gusnard, D. A., & Shulman, G. L. (2001). A default mode of brain function. Proceedings of the National Academy of Sciences, 98(2), 676–682. https://doi.org/10.1073/pnas.98.2.676

Ramírez-Barrantes, R., Arancibia, M., Stojanova, J., Aspé-Sánchez, M., Córdova, C., & Henríquez-Ch, R. A. (2019). Default Mode Network, Meditation, and Age-Associated Brain Changes: What Can We Learn from the Impact of Mental Training on Well-Being as a Psychotherapeutic Approach? Neural Plasticity, 2019, 1–15. https://doi.org/10.1155/2019/7067592

Robinson, B. E. (2019, October 2). The “Rise and Grind” of Hustle Culture. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-right-mindset/201910/the-rise-and-grind-hustle-culture

Saris, I. M. J., Penninx, B. W. J. H., Dinga, R., van Tol, M. J., Veltman, D. J., van der Wee, N. J. A., & Aghajani, M. (2020). Default Mode Network Connectivity and Social Dysfunction in Major Depressive Disorder. Scientific Reports, 10(1). https://doi.org/10.1038/s41598-019-57033-2

Taren, A. A., Gianaros, P. J., Greco, C. M., Lindsay, E. K., Fairgrieve, A., Brown, K. W., Rosen, R. K., Ferris, J. L., Julson, E., Marsland, A. L., & Creswell, J. D. (2017). Mindfulness Meditation Training and Executive Control Network Resting State Functional Connectivity: A Randomized Controlled Trial. Psychosomatic Medicine, 79(6), 674–683. https://doi.org/10.1097/psy.0000000000000466

Vago, D. R., Wallenstein, G. V., & Morris, L. S. (2016). Hippocampus [E-book]. In Reference Module in Neuroscience and Biobehavioral Psychology (pp. 566–570). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-809324-5.04538-7

Vago, D. R., & Zeidan, F. (2016). The Brain on Silent: Mind Wandering, Mindful Awareness, and States of Mental Tranquility. Annals of the New York Academy of Sciences, 1373(1), 96–113. https://doi.org/10.1111/nyas.13171

Yu, L., Long, Q., Tang, Y., Yin, S., Chen, Z., Zhu, C., & Chen, A. (2021). Improving Emotion Regulation Through Real-Time Neurofeedback Training on the Right Dorsolateral Prefrontal Cortex: Evidence From Behavioral and Brain Network Analyses. Frontiers in Human Neuroscience, 15. https://doi.org/10.3389/fnhum.2021.620342

Zare Sakhvidi, F., Zare Sakhvidi, M. J., Mehrparvar, A. H., & Dzhambov, A. M. (2018). Environmental Noise Exposure and Neurodevelopmental and Mental Health Problems in Children: a Systematic Review. Current Environmental Health Reports, 5(3), 365–374. https://doi.org/10.1007/s40572-018-0208-x

Share:

More to Read

More to Read

clark-van-der-beken-596baa0MpyM-unsplash
“2050 adalah tahun kehancuran umat manusia”.
karine-avetisyan-ipuiM-36tAg-unsplash
Ketika DNA dan Jejak Sejarah Membuka Rahasia Hidup
jason-yuen-UQBmFv4u0wc-unsplash
Mendung masih setia dengan siangnya ketika aku terduduk
“2050 adalah tahun kehancuran umat manusia”.
Ketika DNA dan Jejak Sejarah Membuka Rahasia Hidup Manusia.
Mendung masih setia dengan siangnya ketika aku terduduk di sudut ruang sebuah tempat minum kopi itu.
Scroll to Top