Sudut Pandang

Sudut Pandang

Mendung masih setia dengan siangnya ketika aku terduduk di sudut ruang sebuah tempat minum kopi itu. Di antara pikuk jejak kaki manusia. Di sebuah kota besar yang luasnya sebenernya tidak sebesar namanya: Jogjakarta.
Mendung masih setia dengan siangnya ketika aku terduduk di sudut ruang sebuah tempat minum kopi itu. Di antara pikuk jejak kaki manusia. Di sebuah kota besar yang luasnya sebenernya tidak sebesar namanya: Jogjakarta.

Share:

Share:

Mendung masih setia dengan siangnya ketika aku terduduk di sudut ruang sebuah tempat minum kopi itu. Di antara pikuk jejak kaki manusia. Di sebuah kota besar yang luasnya sebenernya tidak sebesar namanya: Jogjakarta. Sampai matahari tahu diri akan waktunya, aku tak meniatkan hatiku untuk berpindah dari sudut itu. Monolog. Itu yang sedari tadi aku lakukan dengan diri lain dalam pikiranku. Apa? Nampak menjadi kata yang senantiasa menyapa dalam benak manusia sejak kecilnya. Sampai sekarang, itu masih saja ada. Ah, dalam sedikit lamun aku berusaha untuk tidak terkejut. Menerawang jauh ke dalam pikiran dia, manusia yang tak pernah ada dalam sangkaanku memiliki cara pandang dan sudut logika se-biasa itu. Hal biasa yang sebenarnya tidak pernah biasa. Walaupun bukan mutiara, namun bak sungai, kata-katanya adalah muara. Muara cerita yang tak pernah habis sampai detik waktu berdetak seribu putaran sekalipun. Tak terasa. Itu yang terasa. Waktu memang tak pernah habis dengan obrolannya.

“Kamu pernah menemukan manusia dengan jalan pikir seperti itu juga?” Kataku dengan nada yang kutahan senangnya.

Dia hanya tersenyum. Sejenak. “Memang menyenangkan. Waktu seolah tak berbatas. Sayangnya waktu yang tak berbatas sekalipun, terkadang harus terbatas” katanya sambil menunduk untuk kemudian melihatku. Tajam, tepat menusuk ujung mata terdalam.

“Hmmmm…” Aku masih berpikir. “Siapa yang membatasi?” tanyaku

“Aku, kamu, dia, mereka, kita”. Lalu diam. Berbicara lagi kemudian. “Bahkan waktu yang tak berbatas pun harus diberi batasnya oleh sudut pandang manusia. Dan…..” lagi, dia terdiam.

“Dan apa…?” bertanya sepontan. Sedikit memaksa. Walau tak terasa.

“Dan aku berharap kita tak membatas” Dia terdiam. Aku hanya tersenyum.

Memoar saat itu dipaksa bangkit oleh lamunanku ternyata. Aku mencoba jujur pada diriku sendiri. Hampir seluruh nuansa pikirnya aku rindukan. Bukan orangnya, karena ia baru seklias waktu lalu aku temui. Tapi sudut pandangnya, kerangka ceritanya. Sesuai dengan keyakinan yang mendalam aku yakini. Ku kira, hanya ada satu orang diantara satu juta manusia di dunia ini yang memiliki cara seperti itu. Dan aku, dihadapan masa ku, aku menemukannya. Dari cerita tak tentu arah dan tak pernah tentu waktu, aku tahu, dia merasa hal sama. Berpikir tentang sesuatu yang tidak biasa, mengenai apa yang mereka sebut “kita”.

Seperti katanya. Ternyata sekarang aku manusia yang membatas waktu tak terbatas. Terpaksa. Untuk kali ini saja, aku berjanji. Aku menyalahkan waktu. Memendam dulu lamunanku lain kali. Aku harus pergi. Dan aku berdiri, mataku begitu saja terarah ke arah jendela yang kini sudah dibenami guratan hujan. Pergi dengan meninggalkan kata terakhirnya yang tak sengaja kutuliskan disebuah tisu kotor.

“Sudut pandang yang kau pahami darinya dan dariku, tanpa kau sadari membuatmu menjadi peramal ulung. Berhati-hatilah dengannya, dengan sudut pandang maksudku. Ia mampu membuatmu buta dalam cinta, atau ternbenam dalam benci. Hanya karena sudut pandang yang kau mengerti” Sederhana. Itu saja.

Share:

More to Read

More to Read

clark-van-der-beken-596baa0MpyM-unsplash
“2050 adalah tahun kehancuran umat manusia”.
karine-avetisyan-ipuiM-36tAg-unsplash
Ketika DNA dan Jejak Sejarah Membuka Rahasia Hidup
engin-akyurt-2-eCuma3qO0-unsplash
Haruskah kita pindah dari Bumi karena katanya planet
“2050 adalah tahun kehancuran umat manusia”.
Ketika DNA dan Jejak Sejarah Membuka Rahasia Hidup Manusia.
Haruskah kita pindah dari Bumi karena katanya planet ini sudah terlalu berisik untuk didiami?
Scroll to Top