Interkoneksi

Interkoneksi

“2050 adalah tahun kehancuran umat manusia”.
“2050 adalah tahun kehancuran umat manusia”.

Share:

Share:

2050 adalah tahun kehancuran umat manusia”. Kurang lebih, narasi tersebut merupakan tesis utama yang ingin disampaikan oleh Breakthrough – National Centre for Climate Restoration dalam laporan Existential Climate-related Security Risk pada Mei 2019. Mereka mengatakan bahwa perubahan iklim akan semakin masif jika manusia masih memperlakukan bumi semena-mena dengan merusaknya seperti yang terjadi saat ini. Alhasil, tahun 2050 akan menjadi katastrofe bagi populasi global. Menurut laporan tersebut, kekeringan panjang, seluruh lapisan es antarika mencair, kebakaran hutan, hancurnya sumber pangan, milyaran orang menjadi pengungsi, banjir bandang, bahkan 1/3 bumi akan berubah menjadi padang pasir adalah beberapa skenario yang mungkin terjadi jika perubahan iklim akibat aktivitas manusia tidak segera dimitigasi.

Di sisi lain, NASA menegaskan bahwa level karbondioksida pada atmosfir bumi mengalami peningkatan eksponensial dalam seratus tahun terakhir. Hal tersebut dipicu oleh pembalakan hutan, penggunaan bahan bakar fosil, deforestasi dan aktivitas industrial lainnya yang dimulai sejak revolusi industri. Berkenaan dengan penggundulan hutan, Indonesia sendiri masih berada di posisi tiga besar dunia setelah Kongo dan Brazil dalam hal deforestasi. Sementara itu, angka global menunjukkan bahwa pada tahun 2019 saja bumi sudah kehilangan hutannya seluas 11,9 juta hektar. Belum lagi kegiatan-kegiatan lain seperti agrikultur dan penambangan yang juga berimplikasi pada meningkatnya emisi. Maka tidak heran jika level perubahan iklim dunia mengalami peningkatan yang signifikan.

Melihat berbagai krisis lingkungan yang makin berkembanga saat ini, seorang Profesor Emeritus asal Amerika, Theodore Roszak membangun sebuah postulat bahwa kerusakan alam memiliki dampak langsung terhadap meningkatnya masalah-masalah psikologis. Menurutnya, diskoneksi dengan bumi akan membawa manusia pada ketidakseimbangan mental dan tentunya membuat mereka cenderung mendestruksi lingkungan. Terlebih lagi, menurut Fisher banyak masyarakat urban yang jauh dari sentuhan natural kini hidup dalam lingkaran matrealisme dan indvidualisme. Hal tersebut menyeret mereka pada kerentanan kondisi psikologis seperti kecemasan, adiksi, depresi atau keputusasaan. Selain itu, perkembangan teknologi dan akses informasi yang sangat pesat entah kenapa justru memberikan ruang bagi manusia untuk makin terpisah dari alam, lingkungan sosial, bahkan dirinya sendiri. Berdasarkan hipotesis-hipotesis tersebut, maka bukan tidak mungkin beragam masalah psikologis yang belakangan ini muncul ditengarai salah satunya oleh kondisi bumi yang semakin kritis.  

Keterpisahan manusia dengan bumi mengantarkan para pemikir untuk mengembangangkan sebuah pendakatan baru guna menempatkan kembali manusia pada tempat asalnya yaitu alam. Pendekatan yang disebut ecopsychology tersebut beranggapan bahwa alam memiliki kemampuan terapeutik untuk membantu manusia meyeimbangkan kondisinya mentalnya. Tidak hanya sebatas pada teori, banyak peneliti dan akademisi mencoba membuktikan kemungkinan tersebut melalui beragam studi empiris. Menariknya, ada sebuah kajian dari Pritchard dan timnya terhadap 20 artikel penelitian yang membuktikan bahwa koneksi dengan alam akan mendorong manusia mencapai titik eudaimonic weill-being. Melalui eudaimonic well-being manusia lebih mampu melakukan penerimaan diri, menjalani hidup dengan lebih bermakna, otonom serta betumbuh.

Pada faktanya, koneksi dengan alam tidak hanya membuat manusia tumbuh dan berkembang, melainkan juga membantu proses pemulihan, baik dari masalah fisik maupun psikologis. Hal ini telah diungkap bahkan sejak lebih dari tiga dekade lalu oleh Ulrich. Ia melakukan eksperimen dengan menempatkan 23 pasien pasca operasi di ruangan dengan jendela yang langsung menghadap pemandangan alam. Hasilnya, pasien-pasien tersebut lebih cepat pulih dan total waktu rawat inap di rumah sakit lebih sebentar dibandingkan pasien yang hanya dikelilingi tembok. Kondisi demikian dapat terjadi karena interaksi dengan alam memiliki benefit langsung terhadap proses biofisiologis manusia. Kajian yang dilakukan oleh Jo dan timnya terhadap 37 eksperimen memberikan sebuah fakta bahwa rangsangan visual berupa pemandangan natural berpengaruh terhadap banyak aspek tubuh seperti detak jantung, aktivitas otak di bagian prefrontal cortex, aktivitas saraf otonom, tekanan darah dan gelombang otak. Menariknya, area-area tersebut erat kaitannya dengan proses relaksasi tubuh, peningkatan imunitas, penurunan stress, dan pemulihan pasca sakit. Bahkan dalam penelitian lain disebutkan bahwa berinteraksi dengan alam dapat meningkatkan protein anti kanker dalam tubuh serta mengurangi masalah kardiovaskular seperti jantung dan darah tinggi.

Koneksi dengan alam tidak hanya membantu penyembuhan dalam konteks gangguan fisik, namun juga memiliki benefit bagi pemulihan masalah-masalah psikologis. Sudah banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa simtom-simtom gangguan tidur, depresi dan kecemasan dapat direduksi dengan memaparkan kondisi alam seperti hutan ataupun taman. Selain mengurangi berbagai isu kesehatan mental, koneksi dengan alam juga turut serta dalam meningkatkan kestabilan mood, kemampuan dalam mengelola stress dan meningkatkan self-esteem. Menariknya, dalam area parenting ketika seorang ibu yang sedang hamil memaparkan dirinya dengan lingkungan natural maka hal tersebut akan memengaruhi berat badan bayi, mengurangi obesitas pada anak dan berpengaruh pada level tekanan darahnya ketika ia tumbuh remaja. Lebih dari itu, dalam penelitian yang dilakukan di Inggris terhadap 2000 orang ditemukan sebuah fakta bahwa interaksi dengan lingkungan natural dapat mengurangi angka kriminalitas dan agresi pada sebuah populasi akibat meningkatnya kohesifitas kelompok. Jelaslah bahwa ketika manusia kembali terkoneksi dengan bumi maka hal tersebut dapat membawa kebaikan, baik secara fisik, psikologis bahkan sosial.

Kebaikan yang hadir akibat interkoneksi bumi dan manusia justru membuahkan pertanyaan baru bagi para peneliti. Mengapa interaksi dengan alam bisa memberikan benefit bagi kehidupan manusia? Untuk menjawab hal tersebut seorang tokoh psikologi Bernama Erich Fromm menelurkan sebuah konsep biophilia, yaitu insting dasar manusia untuk mencintai kehidupan dan hal-hal yang hidup (living being). Lebih jauh, pada tahun 1984 seorang ahli biologi asal Amerika, Edward Wilson mengembangkan konsep biophilia yang dijelaskan sebagai kecenderungan manusia untuk berafiliasi dengan alam sebagai bagian dari kondisi genetis. Dalam pandangan psikologi evolusi biophilia terjadi karena pada dasarnya tempat asal manusia adalah alam. Sejak dulu manusia telah hidup, bertahan dan tumbuh bersama lingkungan natural. Keterikatan dengan bumi terus terbawa dalam perjalanan evolusi umat manusia sampai akhirnya tertanam sebagai kebutuhan dasar yang terinternalisasi dalam jejak genetis.

Di sisi lain, paradigma ecopsychology meyakini bahwa kebutuhan manusia akan realitas natural didasari atas sebuah postulat bahwa manusia adalah bagian dari alam. Maka muncul sebuah kritik yang menyatakan bahwa pandangan mengenai manusia perlu kembali terkoneksi dengan lingkungan natural adalah sebuah paradoks, karena manusia tidak pernah terpisah dari alam sebab ia merupakan alam itu sendiri. Asumsi tersebut menjadi menarik pasalnya dalam kacamata astrofisika manusia dikatakan sebagai debu bintang (stardust). Berbagai temuan menunjukkan bahwa unsur pembentuk hidup manusia sebenarnya lahir dari ledakan bintang yang disebut Supernova. Pada awal terbentuknya alam semesta, bigbang melahirakan substansi atomik berupa helium dan hidorgen. Kedua unsur itu saling berinteraksi membentuk bintang baru hingga pada satu titik meledak dan menciptakan beragam unsur baru lainnya. Terus begitu sampai akhirnya muncul berbagai atom kompleks dalam tabel periodik.  Misalnya saja, oksigen yang manusia hirup lahir dari ledakan bintang yang masif milyaran tahun lalu, sementara zat besi dalam darah berasal dari ledakan bintang yang relatif kerdil.

Dapat dikatakan bahwa 97% elemen pembentuk hidup manusia bersumber dari serpihan alam semesta. Dalam wawancara bersama National Geographic, Karel Schrijver seorang astrofisikawan dan Iris Schrijver yang merupakan professor patologi di Stanford University mengatakan bahwa tidak kurang dari 40.000 ton debu kosmik jatuh ke bumi setiap tahunnya. Unsur-unsur tersebut manusia hirup setiap hari, juga sebagian menjadi nutrisi yang menghidupi makhluk bumi. Banyak dari elemen atomik tersebut pada akhirnya menjadi bagian tubuh yang memberi energi bagi manusia untuk menjalani aktivitas kehidupan. Menariknya, tidak hanya manusia, setiap entitas yang hadir di sekeliling kita pun berasal dari residu alam semesta. Maka bukan hal yang tabu untuk dikatakan bahwa manusia dan substansi apapun di alam semesta sebenarnya terkoneksi dalam level atomik. Bagi sebagian pemikir hal tersebut mejadi alasan kuat yang menjelaskan mengapa manusia butuh kembali terkoneksi dengan alam agar dapat seimbang. Ya, karena manusia adalah bagian dari semesta itu sendiri.

Abrams, N. E., & Primack, J. R. (2012). The New Universe and the Human Future: How a Shared Cosmology Could Transform the World (The Terry Lectures Series) (Illustrated ed.). Yale University Press.

Breakthrough – National Centre for Climate Restoration, Spratt, D., & Dunlop, I. (2019, May). Existential climate-related security risk: A scenario approach. Breakthrough – National Centre for Climate Restoration. https://docs.wixstatic.com/ugd/148cb0_b2c0c79dc4344b279bcf2365336ff23b.pdf

Chavaly, D., & Naachimuthu, K. P. (2020). Human-Nature Connection And Mental Health: What Do We Know So Far? Indian Journal of Health and Wellbeing, 11(01). https://doi.org/10.15614/ijhw.v11i01.18

Erich. (1797). Anatomy of Human Destructiveness by Erich (1900–1980) Fromm (1992–01-05). Henry Holt & Company Inc.

Howell, E. (2017, January 10). Humans Really Are Made of Stardust, and a New Study Proves It. Space.Com. https://www.space.com/35276-humans-made-of-stardust-galaxy-life-elements.html

Jackson, R. (n.d.). The Effects of Climate Change. Climate Change: Vital Signs of the Planet. Retrieved July 30, 2021, from https://climate.nasa.gov/effects/

Jo, H., Song, C., & Miyazaki, Y. (2019). Physiological Benefits of Viewing Nature: A Systematic Review of Indoor Experiments. International Journal of Environmental Research and Public Health, 16(23), 4739. https://doi.org/10.3390/ijerph16234739

Martin, L., White, M. P., Hunt, A., Richardson, M., Pahl, S., & Burt, J. (2020). Nature contact, nature connectedness and associations with health, wellbeing and pro-environmental behaviours. Journal of Environmental Psychology, 68, 101389. https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2020.101389

Pritchard, A., Richardson, M., Sheffield, D., & McEwan, K. (2019). The Relationship Between Nature Connectedness and Eudaimonic Well-Being: A Meta-analysis. Journal of Happiness Studies, 21(3), 1145–1167. https://doi.org/10.1007/s10902-019-00118-6

Repke, M. A., Berry, M. S., Conway, L. G., Metcalf, A., Hensen, R. M., & Phelan, C. (2018). How does nature exposure make people healthier?: Evidence for the role of impulsivity and expanded space perception. PLOS ONE, 13(8), e0202246. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0202246

Seymour, V. (2016). The Human–Nature Relationship and Its Impact on Health: A Critical Review. Frontiers in Public Health, 4. https://doi.org/10.3389/fpubh.2016.00260

Ulrich, R. (1984). View through a window may influence recovery from surgery. Science, 224(4647), 420–421. https://doi.org/10.1126/science.6143402

Weinstein, N., Balmford, A., DeHaan, C. R., Gladwell, V., Bradbury, R. B., & Amano, T. (2015). Seeing Community for the Trees: The Links among Contact with Natural Environments, Community Cohesion, and Crime. BioScience, 65(12), 1141–1153. https://doi.org/10.1093/biosci/biv151

Welle, D. (2020, June 4). Studi: Indonesia Berhasil Tekan Deforestasi, Tapi Masih Tiga Besar Dunia. detiknews. https://news.detik.com/dw/d-5039790/studi-indonesia-berhasil-tekan-deforestasi-tapi-masih-tiga-besar-dunia

Wilson, E. O. (1984). Biophilia (Revised ed.). Harvard University Press.

Worrall, S. (2021, May 3). How 40,000 Tons of Cosmic Dust Falling to Earth Affects You and Me. Science. https://www.nationalgeographic.com/science/article/150128-big-bang-universe-supernova-astrophysics-health-space-ngbooktalk

Share:

More to Read

More to Read

karine-avetisyan-ipuiM-36tAg-unsplash
Ketika DNA dan Jejak Sejarah Membuka Rahasia Hidup
engin-akyurt-2-eCuma3qO0-unsplash
Haruskah kita pindah dari Bumi karena katanya planet
jason-yuen-UQBmFv4u0wc-unsplash
Mendung masih setia dengan siangnya ketika aku terduduk
Ketika DNA dan Jejak Sejarah Membuka Rahasia Hidup Manusia.
Haruskah kita pindah dari Bumi karena katanya planet ini sudah terlalu berisik untuk didiami?
Mendung masih setia dengan siangnya ketika aku terduduk di sudut ruang sebuah tempat minum kopi itu.
Scroll to Top