Hari Pertama
Hujan mengguyur kota dengan mesra
Wanita itu berlari kegirangan, menari-nari, membasahi setiap jengkal rambut
Di tengah hujan
Payung bening berwarna hitam masih menghalaunya dari setitik air
Tetap percuma, karena ia tembus juga
Gaun anggun meresap ke sela-sela kulit bersama setetes basah
Hari Kedua
Hujan mengguyur kota dengan mesra
Wanita itu berlari kegirangan, menari-nari, membasahi setiap jengkal rambut
Di tengah hujan
Pria berjambang tebal itu datang, diundang hujan
Mendekat, kemudian mendekap
Gaun ditanggalkan, meresap ia ke sela-sela kulit bersama setetes darah
Merenggut riang. Telanjang ia sekarang
Di bawah payung bening berwarna hitam yang tak kemana-mana
Hari Ketiga
Hujan mengguyur kota dengan mesra
Wanita itu berlari tidak kegirangan, menari-nari, membasahi setiap jengkal rambut
Di tengah hujan
Si tua renta terseok-seok kepayahan
Mencium bau wanita telanjang, muntah kemudian
Di bawah payung bening berwarna hitam yang masih tak kemana-mana
Hari Keempat
Hujan mengguyur kota dengan mesra
Wanita itu berjalan sempoyongan, menari dengan cara yang diam,
Membasahi setiap jengkal sudut mata
Di tengah hujan
Sekumpulan bocah bermain layangan, menarik ulur benang
Mengelilingi wanita telanjang
Tujuh orang bocah membuka celana
Amis kencing beradu basah dengan hujan
Meresap ia ke sela-sela kulit bersama segondok gerah
Kurcaci kecil terbahak-bahak, terbirit-birit
Di bawah payung bening berwarna hitam yang menjaga setia
Hari Kelima
Lagi. Hujan mengguyur kota dengan mesra
Wanita telanjang sedari kemarin tinggal di antara jalan dan trotoar
Membasahi setiap jengkal sudut mata
Dua nona cantik mengendarai mobil balap berwarna mewah
Jantung berdegap-degap, nafasnya berengap-engap
Berdiri berhadapan
Menatap jijik, menyentuhkan bibirnya dengan bibir wanita telanjang
Di tengah hujan
Nona cantik kepayahan, meludah kemudian
Di bawah payung bening berwarna hitam
Hari Keenam
Hujan mengguyur kota dengan mesra
Wanita telanjang tidak lagi telanjang
Seonggok badannya diselimuti beku Anjing-anjing memergokinya sebagai bangkai
Tak sudi juga para anjing memakan bangkai
Dijadikan toilet umum ia oleh sekawanan liar
Dijaga oleh payung bening berwarna hitam
Hari Ketujuh
Hujan mengguyur kota dengan mesra
Aku keluar dari perkantoran pusat kota
Wanita telanjang masih menikmati segenang darah di aspal jalan
Aku meresapi perjengkal tubuhnya dengan kulit tangan yang basah
Menggeliat tubuh yang disangka anjing kemarin sebagai bangkai
Matanya berhasil mengoyak mataku
Tangan menggapai tubuh wanita telanjang sampai tegap ia berdiri
Ujung kepala dan ujung kaki segaris dengan mendung yang hujan
Aku berikan mantel ku pada wanita telanjang
Wanita telanjang tidak lagi telanjang
Aku dekapkan tubuhku di tengah hujan
Wajahnya dan wajahku saling beradu sedan
Terkekeh ia senyum kegirangan
Nyawa yang hilang tujuh hari lalu seolah dipaksa datang
Digenggam erat tangan si wanita tidak telanjang
Ku rebut lembut payung bening berwarna hitam
Pergilah aku kemudian
Malam, Di Hari Ketujuh
Ia kini hanya wanita telanjang
Di tengah hujan
Tanpa girang, apalagi payung bening berwarna hitam
Malam, Di Hari Kedelapan
Dan lagi, ia kini di tengah hujan